Kamis, 12 Agustus 2010

MANAJEMEN KOMUNIKASI

AMUN, hal itu menjadi buah simalakama. Disatu sisi kebebasan tersebut bagaikan angin segar dalam padang pasir kekeringan, sehingga setiap orang kapanpun dan dimanapun bebas tanpa melalui saringan dapat mendirikan media dan mengelurakan pendapat dan aspirasi. Tapi disatu sisi kebebasana tersebut telah menghasilkan berbagai ekses dan akses negatife, Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring" yang dialamatkan pada pers nasional. Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan "vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks.

Hal inilah yang menjadi latar belakang analisis dari makalah ini, sejauh mana sebuah media memiliki kualitas jurnalistik, bagaimana penggunaan dan pemakaian bahasa jurnalistik dalam menampilkan berita-berita, serta apakah sebuah media masih memegang ketentuan-ketentuan dan kode etik jurnalisitk.dalam melaksanakan kegiatan persnya.

9 komentar:

  1. Media yang penulis analisis pada makalah ini adalah Harian Umum ‘Media Indonesia”, dan penulis khusukan analisis penulis pada rubrik editorial. Editorial yang penulis analisis adalah pada tiga edisi dari tanggal 7 Januari sampai dengan 9 Januari 2006.

    Analisis ini bersifat subjektif, sebab penulis sendiri masih proses pembelajaran untuk lebih memahami penggunaan bahasa jurnalistik pada sebuah media. Maka tentu banyak sekali kesalahan dan kekeliruan dari analisis saya ini. Oleh karenanya dengan segala kerendahatian penulis mohon maaf , tentu pemintaan mohon maaf sangat tidak cukup selanjutnya penulis selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik sebagai perbaikan dan pembelajaran di masa yang akan datang.

    BalasHapus
  2. TINJAUAN TEORI

    A. Apa Itu Editorial /Tajuk Rencana?

    Tajuk rencana atau editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau kontroversial yang berkembang dalam masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili sekaligus mencerminkan penadapat dan sikap resmi media pers bersangkutan secara keselurahan sebagai suatu lembaga penerbitan media berkala. Suara tajuk renacana bukanlah suara perorangan atau pribadi-pribadi yang terdapat di jajaran redaksi atau bagian produksi dan sirkulasi, melainkan suara kolektif seluruh wartawan dan karyawan dari suatu lembaga penerbitan pers. Karena merupakan suara lembaga, maka tajuk rencana tidak ditulis dengan mencantumkan nama penulisnya.

    Karakter dan kepribadian pers terdapat sekaligus tercermin dalam tajuk rencana. Tajuk rencana pers papan atas atau pers berkualitas misalnya, memiliki ciri antara lain senantiasa hati-hati, normatif, cenderung konservatif, dan menghindari pendekatan kritik yang bersifat telanjang atau tembak langsung adalam ulasan-ulasannya. Dalam pemuatan tajuk rencana pers papan atas, pertimbangan aspek politis lebih dominaan dibandingkan dengan pertimbangan sosiologis.

    Tajuk renacana dari pers papan tengah atau pers populer berlaku sebaliknya. Pers populer lebih berani, atraktif, progresif, dan tidak canggung untuk memilih pendekatan kritik yang bersifat telanjang serta tembak langsuing. Apabila pers papan atas lebih mengutamakan pertimbangan aspek politis, maka pers papan tengah atau bahkan pers papan bawah justru memilih pertimbangan aspek sosiologis dalan pemuatan tajuk rencana.

    Pers papan atas memiliki kepentingan yang jauh labih kompleks dibandingkan dengan pers papan tengah atau pers papan bawah. Kepentingan yang sifatnya jauh lebih kompleks itulah yang mendorong pers papan atas untuk cenderung bersikap konservatif dan akomodatif dalam kebijakan pemberitaan serta dalam pernyataan pendapat kebijakan pemberitaan serta dalam pernyataan pendapat dan sikap melalui saluran resmi tajuk rencana. Inilah kosekuensi pers modern sebagai industri jasa informasi yang bersifat padat karya sekaligus padat modal.

    BalasHapus
  3. B. Karakteristik Bahasa Jurnalistik.

    Secara spesifik, bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu bahsa jurnalistik surat kabar, bahasa jurnalistik tabloid, bahasa jurnalistik majalah, majalah jurnalistik radio siaran, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik suart kabar, selain harus tunduk kepada kaidaja atau prinsip-prinsip umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khsusu dan spesifik. Hal ini yang memebdakan dirinya dari bahasa jurnalistik majalah, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi, dan bahasa jurnalistik media on-line internet.
    Adapun ciri utama dari bahsa jurnalistik yang secara umum berlaku untuk semua media berkala yaitu:

    1. Sederhana.

    Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat hetrogen; baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalsitik

    2. Singkat.

    Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroslan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi dan karakteristik pers.

    BalasHapus
  4. 3. Padat.

    Padat dalam bahasa jurnalistik menurut Patmono SK, rekatur senior Sinar Harapan dalam bukunya Tehnik Jurnalistik (1996:45) berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis membuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Tetapi kalimat yang padat kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.

    4. Lugas.

    Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufisme atau pengahlusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga etrjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi.

    5. Jelas.

    Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagi contoh, hitam adalah warna yang jelas, begitu juga dengan putih kecuali jika keduanya digabungkan maka akan menjadi abu-abu . perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas disini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah objek predikat keterangan (SPOK), dan jelas sasaran atau maksudnya.

    BalasHapus
  5. 6. Jernih.

    Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memilki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan keculai fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam perspektif orang-orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (psitive thinking) dan menolak pola pikir negatif (negative thinking).
    Hanya dengan pola pikir positif kita kan dapat melihat smua fenomena dan persoalan yang teradpat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih, dan dada lapang.

    7. Menarik.
    Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca. Memicu selera pembaca. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip menarik, benar dan baku.

    8. Demokratis.

    Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana dijumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga sama seklai tidak dikenal pendekatan feodal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan keraton.

    BalasHapus
  6. 9. Populis.

    Populis berarti setiap kata, istiulah atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab ditelinga, di mata, dan di benak pikirna khalayak pembaca, pendengar, dan pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Kebalikan populis adalah elitis. Bahasa elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil oarang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.

    10. Logis.

    Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat atau paragraf jurnalistik harusdapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahas jurnalisitk harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Disini berlaku hukum logika

    11. Gramatikal.

    Gramatikal berarti kata, istilah, atau kaliamt apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahsa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan taat bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsan dan kelompok masyarakat. .

    12. Mengindari kata tutur.

    Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memeprhatikan masalah stuktur dan tata bahasa.

    13. Mengutamakan kalimat aktif.

    Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oelh kahalayak pembaca dari pada kalimat pasif. Bahasa jurnalistik harus jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear dan strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas tingakt pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan membingungkan tingkat pemahaman.

    BalasHapus
  7. 13. Menghindari kata atau istilah teknis.

    Karena ditujukan untuk umu, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari pengguanan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun, kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komuniats tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa, tidak boleh dibawa ke dalam relatias yang hetrogen. Kecuali tidak efektif, juga mengandung unsur pemerkosaan.

    Kalaupun tidak terhindarkan maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tana kurung.

    Surat kabar lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan surat kabar itu:
    (a) kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas.
    (b) Tidak memiliki editor bahasa.
    (c) Tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan.
    (d) Tidak memilki sikap profesional dalam mengelola penerbiatn pers yang berkualitas

    BalasHapus
  8. 14. Menghindari kata atau istilah asing.

    Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti atau makan setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata. Asing, selian tidak informatif dan komunikatif, juga sangat membingungkan.

    Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan heterogen. Tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukan akat atau istilah pada berita yang kita tulis, kita diudarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri ditengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.

    15. Tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku.

    Pers, sebagai guru bangsa dengan fungsinya sebagai pendidik, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku, bahasa pers harus baku, benar, dan baik.

    Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, kata-kata vulgar, kata-kata berisi sumpah serapah, kata-kata hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama, atau denagn rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.

    C. Menulis Untuk Televisi.

    Dalan penulisan berita untuk media televisi ada beberapa prinsip yang harus di pegang diantaranya:
    1. Gaya Ringan bahasa sederhana. 6. Hindari ungkapan bombastis.
    2. Gunakan prinsip ekonomi kata. 7. Hindari istilah teknis tidak dikenal.
    3. Gunakan ungkapan lebih pendek. 8. Hindari ungkapan klise dan eufemisme
    4. Gunakan kata sederhana. 9. Gunakan kalimat tutur.
    5. Gunakan kata sesuai konteks 10. Harus kalimat aktif dan terstuktur

    BalasHapus
  9. B. Analisis penggunaan bahasa jurnalistik.

    1. Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 7 Januari 2006.

    Yang pertama yang penuliscermati pada editorial Media Indonesia edisi 7 Januari 2006 adalah dari segi judul. Pertama, pada edisi 7 Januari Media Indonesia menulis seperti ini: Jangan Bunuh Penumpang [Kami]. Dari segi judul menurut penulissedikit ekstrim, kata bunuh adalah kata yang terlalu ekstrem untuk ditulis pada sebuah media yang notebenenya besar dan berpegang pada fungsi utama pers yaitu sebagai edukasi, kata bunuh merupakan kata yang mempunyai makna kejam dan sadis. Pada judul tersebut yang ditujukan pada Jasa Penerbangan dan Pemerintah adalah provokasi seakan-akan kesalahan utama pada kecelakaan itu disebabkan oleh kedua pihak tersebut sehingga ‘Media Indonesia’ menulis Jangan Bunuh Penumpang (Kami).

    Kedua, pada judul Jangan Bunuh Penumpang (Kami), ada tanda kurung siku ( “[ ]”) pada kalimat ‘Kami’. Yang penulis tidak mengerti adalah apa tujuan kalimat ‘Kami” memakai tanda kurung siku.

    Menurut Drs. AS Haris Sumadiria M.Si (Bahasa Jurnalisitik, 2006:237) fungsi utama tanda kurung siku adalah, (1) tanda kurung siku mengapit kata, huruf atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan dan kekurangan itu memang terdapat dalam naskah asl. (2) tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah dalam tanda kurung.


    Dalam persfektif bahasa jurnalistik, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakit. Sarkasme menujukan kaidah normatif pada budaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab berbagai persoalan sosial-ekonomi dan politik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikir logis etis tetapi lebih suka mengembangkan cara-cara sikap dan perilaku sadis dan anarkis. Bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, sarat sumpah serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab.(Drs. AS Haris Sumadiria, 2006: 161).

    Bagaimanapun sekali lagi, media sebagai guru bangsa mempunyai tanggung jawab sosial moral terhadap ‘mudid’nya untuk senantiasa memberikan sikap optimistis, walaupun telah disentuh diatas bahwa penggunaan bahasa sarkasem menujukan keadaan masyarakat yang sedang sakit, tetapi menurut penulis jika sebuah media tetap menggunakan bahasa sarkasme dan ironinya keadaan masyarakat sedang sakit, seperti mencari kesempatan dalam kesempitan dan bukannya menyeleseikan masalah bahkan ‘airnya’ semkin keruh dan menciptakan masalah baru yaitu sikap pesimistis.

    BalasHapus